Powered By Blogger

Kamis, 10 Februari 2011

Terasing

Hari masih pagi. Pohon jambu di halaman rumah ramai oleh kicauan burung yang berlompatan dari ranting-keranting. Titik-titik embun yang menempel di daun berjatuhan membasahi deretan pot dan bunga-bunga yang seakan tersenyum menyambut pagi. Di timur, fajar shadiq mulai memendar. Hamparan awan tipis membias cahaya merah keemasan. Dua ekor ayam berkejaran di halaman. Melompat pagar, lalu hilang di ujung jalan.

Aku dan Ahmad hari itu keluar meninggalkan rumah. Ahmad  adalah kakakku dengan segudang kesibukan pekerjaan. Berlebihan rasanya bila aku katakan tak sesaatpun waktunya dibiarkan berlalu untuk berdiam diri tanpa kegiatan bermanfaat. Tapi itulah yang aku lihat. Ia sepertinya tak hendak melewatkan seharipun tanpa sesuatu yang beraarti bagi kehidupan. Paling tidak untuk kehidupan diri dan keluarganya.

Pagi itu, meski sebenarnya sudah cukup terang oleh semburat merah di ufuk timur dengan cahayanya yang menyusup diantara celah-celah bangunan serta ranting dan dedaunan yang basah oleh kabut malam yang meninggalkan jejak berupa titik-titik embun, namun lampu-lampu didepan rumah penduduk dan dijalan-jalan yang kami lalui masih setia menerangi walau sebenarnya sudah cukup terang tanpa kehadirannya.

Jalan yang kami lalui tampak sepi. Hanya ada satu - dua orang yang berpapasan dengan kami. Mereka baru saja pulang dari berjalan-jalan pagi usai melaksanakan shalat subuh. Ruma-rumah yang berjajar disepanjang kiri-kanan jalan tampak kokoh berpagar tembok. Tak satupun pintu pagar rumah yang terbuka kecuali sebagian toko yang mulai buka dan beberapa rumah diantaranya yang memamang tidak berpagar dan sebagian dindingnya  terbuka disana-sini.

Sepi. Sangat berbeda suasananya empat hari yang lalu ketika aku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki dikota kecil ini. Entahlah. Apakah karena empat hari yang lalu itu aku melalui jalan ini sehari sebelum hari raya Idul Fitri, ataukah karena hari ini kami meninggalkan rumah masih terlalu pagi.

Hari itu menjelang sore. Jalan yang aku lalui, dijalan yang sama kini kami susuri, selain kendaraan yang tentunya manusia juga penumpang dan pengemudinya, kulihat begitu banyak manusia yang hilir mudik. Dari pejalan kaki sampai sedan pribadi semua kulihat disini. Dalam hati aku berkata, kota kecil tempat Ahmad tinggal selama ini ternyata sudah cukup ramai juga. Selain itu penduduknya juga beragam. Ciri sebuah kota yang kutahu selama ini.

Dijalan yang sama disore hari itu. H -4 lebaran 2007, sempat juga kulihat beberapa orang pengayuh becak yang memotong arah jalan yang akan kami lalui. Sepertinya waktu itu kami tengah berada didepan sebuah pasar. Didepan para tukang becak itu, ditempat yang biasa untuk penumpang duduk, kulihat tampak sarat dengan muatan. Lama kami menunggu iring-iringan itu berlalu satu-persatu. Dari belakang aku dengar suara klakson mobil dan kendaraan lain bersahutan. Mungkin sopir-sopir itu sudah tidak sabar lagi untuk segera sampai. Sopir mobil yang aku tumpangi juga tidak mau ketinggalan. Ia kelihatan sangat gelisah. Sambil melepas sebuah kopiah yang sejak semula bertenggaer diatas kepalanya, Ia mengumpat-umpat dan mengeluarkan kata-kata yang sesungguhnya tidak pantas diucapkan.

Sepanjang jalan aku memang selalu memperhtikan sopir muda itu. Aku terkesan dengan penampilannya. Kulihat Ia seorang muslim. Dalam pandanganku saat pertama naik mobil yang Ia kemudikan, muncul anggapan Ia seorang  muslim yang taat. Tapi mengapa Ia bisa berkata-kata seperti itu. Kesan dan anggapan itu seketika berlalu. Berganti sesal dan tanya.  Apakah Ia tidak sedang berpuasa ? Ataukah baju gamis yang dikenakannya dan kopiah yang tadi dibantingnya diatas stir mobil itu hanya sebuah hiasan ? Ataukah baju gamis yang dipakainya itu tidak lebih dari sehelai kaos oblong yang dikenakan seorang lelaki yang tadi kami lihat disisi jalan ?

Lelaki di sisi jalan tidak jauah sebelum kami berada di tengah kerumunan yang aku duga pasar itu sempat mengundang gelak tawa para penumpang. Lelaki itu berumur sekira tiga puluhan tahun. Ia memakai baju kaos oblong juga, tapi maaf, bagian bawahnya terbuka. Tanpa ada yang menjelaskan, semua penumpang termasuk aku, maklum kalau lelaki itu mengalami sesuatu yang tidak diinginkan siapapun. Entah siapa Ia. Tapi yang kulihat di tempat itu tidak seorangpun yang tertarik memperhatikan kecuali kami para penumpang yang kebetulan berlalu.

                                                          *** 
“Puasa itu tidak sekedar menahan lapar. Tapi, seorang yang sedang menjalankan ibadah puasa harus menjaga dan menahan semua anggota tubuhnya untuk tidak melakukan sesuatu  yang dapat mengurangi nilai puasanya.” Begitu yang sering aku dengar dari guru agama dan para da’i yang sering  berceramah dimesjid-mesjid.

Mengingat itu. Aku berusaha menjaga telinga untuk tidak sembarang menerima suara. Kata-kata pedas yang diucapkan pak sopir tidak lagi menjadi perhatianku. Lagi puasa, pikirku. Pandanganku tertuju pada sesuatu yang bergerak-gerak menyembul diantara tumpukan barang yang dimuat si tukang becak. Lama aku memperhatikannya. Sesuatu Itu seperti kepala manusia dibalut jilbab lusuh. Mulutnya tampak komat-kamit melapalkan sesuatu. Seorang perempuan tua. Aku baru jelas melihatnya ketika kedua matanya yang dipejamkan terbuka diikuti suara batuk yang nyaris tak terdengar disembur knalpot sebuah truk besar yang sedang memuntahkan asap hitam pekat ingin hendak segera berlalu.

Yah, begitulah mungkin gambaran sebuah kota kecil yang seadang menggeliat dengan segala bentuk perkembangannya.  Ahmad kakakku telah dua tahun tinggal dikota ini. Menurut cerita yang aku dengar dari ibu, daerah ini adalah tanah tempat tinggal leluhurnya. Masa kecil, Ibu habiskan di daerah ini. Tapi sejak menikah dan ikut dengan ayah, Ia tidak pernah lagi kembali ketanah kelahirannya. Ibunya, setahun setelah pernikahannya dipanggil menyusul ayahnya yang telah lebih dulu menghadap yang kuasa.

Kata Ibu, dahulu daerah ini  tak seramai yang kulihat sekarang. Saat itu hanya ada beberapa rumah yang merupakan penduduk asli. Tanah-tanah yang kini dipenuhi gedung-gedung itu adalah lahan persawahan tempatnya bermain bersama teman-temannya disaat biji padi mengair susu. Saat itu burung pipit seperti menemukan hidangan pesta. Tugas ibu, menghalau burung pipit yang datang bergerombol merampas biji-biji padi. Tapi bermain membuat ia lupa pesan ibunya dirumah. Kata ibunya, padi-padi itu harus dijaga, kalau tidak pipit-pipit yang jahat akan mencuri dan membawanya pergi. Tentu saja waktu itu ibu yang belum genap berumur sepuluh tahun tidak mau kehilangan padinya yang sebentar lagi menguning. Sehabis panen bapaknya selalu membelikan kain dikota sebagai hadiah atas keberhasilannya mengalahkan pipit yang kadang tidak dilihatnya ternyata telah terbang pergi karena kenyang.

Tidak ada mobil ketika itu, cerita ibu. Apalagi bandara dan pesawat terbang. Untuk hubungan keluar cukup hanya menggunakan perahu layar dengan laut atau kuda dengan jalur darat meski harus memakan waktu berhari-hari lamanya. Tapi perlahan-lahan, sejak pemerintah membuka jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor, dan menimbun sawah-sawah untuk mendirikan pabrik, keadaan mulai berubah. Gedung-gedung mulai berdiri. Toko, dan rumah-rumah. Pasar, gedung-gedung sekolah. Warung dan jalan satu-satunya yang membelah perkampungan kini mulai bercabang-cabang.

Sawah tempat ibu biasa bermain kini tidak lagi ditempatnya. Semua itu telah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi ibu tidak pernah menyesali apa yang hilang dari hadapanya. Aku pun sering menasehati ketika bercerita tentang itu. Tapi katnya, ia hanya mengenang masa-masa itu. Bagi ibu, masa itu sungguh sangat indah. Damai dan menyenangkan. Tidak ada kerusuhan dan amuk massa yang sekarang sering dilihatnya di televisi. Kadang aku turut larut dalan cerita-certa itu. Tapi aku mencoba memberinya pemahaman, bahwa apa yang dilihatnya sekarang adalah bentuk kemajuan. Pemerintah melakukan itu adalah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan untuk pemerataan pembangunan.

Hanya satu yang tak biasa kumengerti, ibu tak lagi menemukan sahabat-sahabatnya. Bahkan kerabat dekatnya pun tak lagi ia jumpai disini. Mereka semua entah pergi kemana. Rumah-rumah warga tak jauh dari sawah yang kini hilang itupun tak lagi dilihatnya. Disana kini berdiri gadung-gedung tinggi. Disawah tempatnya memandang padi menguning disore hari telah dibangun lapangan terbang.

Pernah suatu ketika ibu mencoba pergi melihat tempat turunnya pesawat terbang itu. Orang-orang yang ditemuinya disana tak satupun yang dikenalnya. Bahkan bahasa yang digunakan ibu sebagai orang yang pernah tinggal ditempat ini, tidak dimengerti orang-orang yang siang itu dijumpainya. Kata Ibu, hari itu seorang berpakaian seragam menyuruh ia pulang karena tidak jelas tujuan Ibu apa.

Lalu mereka semua pergi kemana, bukankah mereka semua, kerabat dan penduduk itu yang seharusnya mengisi gedung-gedung itu ? Bukankah seharusnya mereka kini telah hidup sejahtera seperti tujuan pemarintah untuk pemerataan ?

Kerabat ibu satu-satunya yang dapat kami temui, jauh berada dipinggir laut. Diatas sebuah rumah yang hampir rubuh kami menjumpainya. Sebagai tanda kegembiraan kami menginap satu malam disitu. Sepanjang malam aku sulit memejamkan mata. Selain pikiran-pikiran yang terus memenuhi kepala, suara ombak sepanjang malam yang menderu berkejaran didepan rumah, membuatku tak dapat terlelap. Sampai tiba waktu pagi dan suara anak-anak yang bermain berkejaran dihalaman rumah menggantikan deburan ombak yang menggangguku sepanjang malam, aku masih larut dalam pikiran-pikiran itu.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidur. Dengan berat aku berusaha menyaksikan keceriaan anak-anak itu. Ketika pagi beranjak siang, kulihat anak-anak itu masih asyik bermain dipasir yang mulai menerbangkan debu karena sengatan matahari dan hembusan angin laut. Tak satupun diantara anak-anak itu yang kulihat hendak bergegas untuk berangkat kesekolah. Padhal aku tau hari itu bukan hari libur dan seharusnya merka berada disekolah sekarang.

                                                         ***
“Kita turun disini,” berkata Ahmad membangunkan aku dari lamunan sepanjang jalan. “Kau tunggu sebentar, aku akan menitip motor ini kepada pemilik rumah yang didepan itu.”

Sebuah rumah panggung yang besar tanpak lengang. Hanya seorang kakek tua yang baru saja memasuki pintu pagar ketika kami tiba. Ia seperti baru tiba dari mesjid. Disebelah kanan pintu pagar itu sebuah bangunan kecil menyerupai sebuah pos ronda. Diatas bangunan yang berlantai papan itu tampak bebrapa orang pemuda sedang tidur pulas.

Kulihat kakek itu berbincang dengan Ahmad beberapa saat. Mungkin mereka sudah saling kenal. Tiadak lama kemudian Ahmad kembali dan menunjuk sebuah jalan yang akan kami lalui. Jalan itu sebenarnya cukup lebar untuk sbuah sepeda motor. Tapi kurasa Ahmad punya alasan tersendiri mengapa motor tidak dibawa dan harus dititip. Aku juga tidak mau banyak tanya.

Beberapa saat kemudian kami memasuki areal persawahan yang luas.Sebuah keindahan desa yang tersisa, fikirku. Sejauh mata memandang yang tampak adalah petakan-petakan sawah dipagari deretan bukit dikejauhan. Bukit-bukit itu kelihatan serupa raksaa hitam berselimut putih kabut tipis. Sapanjang pematang sawah yang kami lalui sesekali kulihat pondok-pondok kecil berdiri. Karena asyiknya memandang sana-sini, be-berapa kali aku terperosok dan hampir mencium tanah.

Tujuan kami ketempat ini adalah untuk melihat-lihat sawah yang sebulan lalu dibeli Ahmad dari seorang kenalan. Ahmad sebetulnya tidak terlalu berminat. Selain terlalu jauh, ia juga tidak banyak waktu untuk mengurusnya. Tapi karena desakan dari pemiliknya, terpaksalah Ahmad jadi juga membelinya.

“Dari pada jatuh ketangan orang lain, kan lebih baik kamu yang beli, Mad,” kata pemilik sawah itu. “Kalau kamu tidak punya banyak waktu, biar aku juga yang nanti mengurusnya. Yang penting sawah ini jangan sampai terjual sama orang lain. Ini satu-satunya peninggalan orang tuaku yang tersisa. Aku sesungguhnya tidak tega menjualnya. Tapi, yah bagaimana lagi, anakku yang laki-laki mendesak ingin kawin. Ini kan kewajiban kita sebagai orang tua. Anggaplah kali ini kamu menolongku.” Lanjut si pemilik sawah itu memelas.

Dan kini sawah itulah yang hendak kami tuju sekarang. Aku terus melangkah. Sesekali aku menengok kearah pondok kecil yang kebetulan dekat dengan pematang sawah yang kami lalui. Ingin rasanya aku segera berada diatasnya. Berayun kaki sambil memandang kejauhan. Tapi, Ahmad menunjuk ketengah. Dibawah sebatang pohon kelapa, berdiri sebuah pondok. Pohon kelapa itu kerdil, tak satupun buahnya yang tampak.

“Itu sawahku, dan pondok kecil yang berdiri dibawah pohon kelapa itu aku yang bangun seminggu yang lalu. Kau nanti bisa beristirahat disana.” Kata Ahmad seakan memahami kalau aku sejak tadi ingin segera sampai dan duduk melapas lelah.

“Kelapanya kenapa tidak berbuah ?” tanyaku setelah mengetahui kelapa itu miliknya. “Kan lumayan untuk mengobat  haus.”

“Mungkin karena kurang terurus. Pemilik sawah ini jarang datang kemari. Dia lebih memilih jadi buruh harian daripada mengurus sawahnya sendiri. “Ahmad menjelaskan.

Beberapa meter sebelum tiba dibawah pohon kelapa merana itu, jantung yang selama ini memompa darah keseluruh tubuhku seakan berhenti berdetak. Andai selama ini aku tidak sedikit terlatih dengan berbagai peristiwa yang hampir dapat ditemui dihampir setiap tempat dan waktu, mungkin perguruan tinggi tempatku kuliah sekarang ini tidak akan pernah mencatat nama seorang mahasiswa yang kadang sering dianggap aneh oleh teman-teman dekatnya. Dan tentu cerita yang kutulis ini pun sudah terkubur bersama kepala dan hati yang selama ini dipenuhi oleh berbagai pikiran dan perasaan yang kadang kata-kata tidak sanggup untuk mengungkapnya.

Apakah karena pematang yang ditumbuhi rerumputan licin dan basah oleh embun pagi yang sebentar lagi lenyap disengat mentari ? Bukan. Bukan itu sebabnya. Kalau hanya sebab itu jantung tidak mungkin secepat ini berdetak.

Aku yang terbiasa dengan renungan-renungan dan kadang juga lamunan dan khayalan, sehingga sering lupa dan tidak sadar dengan apa, sedang apa, dan berada dimana, tiba-tiba telah dihadang oleh seorang perempuan tua berpakaian compang- camping. Mak Lampir, yah mungkin nama itu cukup menggambarkan tubuh yang kini berdiri dihadapanku. Tapi hanya sesaat. Sebelum aku dapat menguasi diri, dia segera berlalu dari hadapanku dengan tawa yang memperlihatkan giginya yang tinggal beberapa buah karena sebagian telah hilang dari tempatnya.

Setelah aku benar-benar tenang , seorang lelaki yang mungkin seumur dengan Ahmad datang menghampiri kami. Tangan dan kakinya dipenuhi lumpur. Aku memperhatikannya sesaat kemudian berlalu dari tempat itu membiarkan ia dan Ahmad berbicara. Dari percakapan yang sempat aku dengar, lelaki itu sepertinya baru kembali dari memperbaiki pematang sawah sebelah. Tapi karena ibunya kambuh panyakit gilanya dan pergi meninggalkan rumah, ia terpaksa menghentikan pekerjaannya dan membujuk ibunya  pulang kerumah. 

“Lelaki yang tadi bicara denganmu itu, siapa kak?” aku bertanya pada Ahmad setelah berada didepan pondok tempatku duduk.
“Dia orang sini juga,” kata Ahmad sambil mengambil posisi duduk diseblahku. Tatapan matanya lurus kedepan. Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu.

“Dia itu penduduk asli disini. Sawah-sawah yang kau lihat disini dulunya adalah milik orang tua dan kerabat-kerabatnya yang lain. Tapi karena desakan berbagai keperluan, yah terpaksa berpindah ketangan orang lain. Dia sendiri skarang tidak memiliki apa-apa lagi. Untuk menyambung hidup dia bekerja sebagai buruh tani disawah yang pernah jadi miliknya. Kau lihat rumah yang dekat bukit diantara pohon-pohon bambu disana ?” tanya Ahmad sambil menunjuk kesebuah bukit dikejauhan.

Dilereng bukit itu, diantara pohon-pohon bambu, tampak  atap sebuah rumah dari daun rumbia menyembul disela-selanya.

“Itu rumahnya,” Lanjut Ahmad.

“Dan perempuan tua itu ? Hampir saja aku dibuat mati mendadak.” Aku bertanya, hendak memperjelas siapa perempuan tua itu.

“Oh, itu ibunya. Sudah lima tahun mengidap penyakit jiwa. Mungkin tidak mampu menerima kenyataan hidup. Keluarganya sebetulnya berjaya dimasa lalu. Tapi kini mereka sendiri harus teasing dan tersingkir dari kehidupan daerahnya yang telah maju. Menjadi penonton dilapangan sendiri.”

“Penonton ?” aku berkata seperti bertanya pada diri sendiri.

“Ah, sudahlah. Cerita tidak ada habisnya. Sementara waktu terus berlalu, lihat matahari sudah semakin tinggi, sebaiknya kita bekerja sekarang. Tolong bantu aku memasang dinding-dinding ini, setelah itu kita segera pulang, masih banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan dirumah.”

“Yah, sebaiknya memang begitu. Waktu jangan dibiarkan berlalu begitu saja tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat.” Kataku dalam hati sambil mulai asyik membantu Ahmad memberesakan pekerjaannya. (*)

Kalukku-Mamuju, Syawal 1427 Hijriah.




2 komentar: