Powered By Blogger

Minggu, 20 Februari 2011

Jalan Hidup

Ketika mengetahui kebiasaanku yang suka bicara dan sering memberikan tanggapan serta mengeluarkan ide-ide terhadap setiap persoalan yang terjadi dimasyarakat, dalam sebuah kesempatan seorang sahabat dekatku berkata,

“ Andai kau seorang mahasiswa, aku yakin kau akan jadi seorang aktifis pergerakan yang diperhitungkan.”

“ Diperhitungkan seperti apa maksudmu ?”

“ Yah, mungkin seorang pemimpin organisasi, atau barangkali mahasiswa yang bikin panas kuping pejabat.” Jawabnya bersemangat.

“ Apa yang kau katakan mungkin ada benarnya.” Aku berkata pelan sembari menerawang. Menerawang kemasa silam. Masa ketika baru tamat dari bangku sekolah. Pergi kekota dan sempat duduk dibangku kuliah, namun hanya sampai pada semester lima karena harus berhenti dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

“ Ada benarnya. Apa maksudmu ?” ia bertanya penuh selidik. Sambil menggeser posisi duduknya, Ia menatap wajahku lekat-lekat. Sahabatku yang satu ini memang terbilang agresif pada hal-hal baru yang belum ia ketahui. Meskipun ia seorang gadis muda yang baru tiga tahun tamat SMA, terdftar sebagai mahasiswa dan selalu sibuk dengan dunianya, namun rasa ingin tahunya pada berbagai hal sangat tinggi.

Karena rasa ingin tahunya itu, ia telah berkeliling ke berbagai daerah. Hampir semua tempat-tempat peninggalan bersejarah di tanah air pernah ia datangi. Ia senang begaul dengan siapa saja dan suka membuat catatan-catatan kecil tentang hal baru yang ia temui dibaebagai tempat. Karena kebiasaannya itu pula Tuhan telah mempertemukan aku dengan dirinya.

Dari keperibadiannya yang aku kenal, kami banyak kecocokan. Ia tipe wanita yang berfikiran maju, teguh pendirian dan selalu berpegang pada prinsip. Baginya orang lain boleh berbuat apa saja. Bebas sebeabas-bebasnya. Mengikuti model yang bagaimana, yang setiap saat terpampang dilayar kaca, tapi untuk dirinya tunggu dulu. Baginya tidak semua yang tampak indah dan menarik itu baik. Tidak semua yang diperagakan oleh model-model yang terkenal itu bagus dan sesuai dengan kondisi dan tradisi masyarakat kita. Apalagi jika dirujuk pada ketentuan dan aturan agama yang yang seharusnya itu yang didahulukan.

“ Tapi tidak semua yang datang dari barat itu jelek,” katanya. “ Tinggal kita yang harus memilih mana yang patut dicontoh, mana yang butuh penyesuaian, dan mana yang sma sekali harus ditinggalkan.” Begitu katanya setiap kali diminta tanggapannya tentang kenyataan yang sekarang tengah melanda generasi muda.

Kenyataan dimana generasi muda seperti tidak punya jati diri. Terombang ambing dalam gelombang dan arus budaya. Mengikut kemana angin berhembus. Jadi budak mode dan hamba para bintang idola. Hanyut dalam dunia hura-hura yang penuh kebebasan.

***
“ Aku dahulu pernah juga kuliah disebuah perguruan tinggi,” kataku sesaat kemudian samba l menanatap wajahnya hendak memberi keyakinan.

“Oh, yah. Lalu ?”

“ Yah, seperti yang engkau katkan tadi,” jawabku lesuh sembari memandang keangkasa tepat dimana dua ekor elang terbang melayang. Memutar mengintari areal persawahan. Tempat dimana Pak tani selama ini menggantungkan hidupnya meski kadang harus menelan pil pahit karena gagal panen. Gagal sebab serangan hama dan tak lagi sanggup membeli pupuk yang harganya terus melonjak .

Tibab-tiba salah seekor dari elang itu terbang rendah. Berputar kebawah, menukik cepat lalu hilang diantara semak belukar yang tumbuh liar di atas pematang sawah yang tak terurus. Memang, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan mencabut subsidi dan menaikkan harga bahan bakar minyak, petani seakan malas mengurus lahan pertaniannya. Harga-harga melambung tinggi, pupuk tak terbeli, sementara serangan hama kian menjadi.

Sesaat kemudian, mahluk yang kelihatan perkasa itu muncul kembali kepermukaan. Kedua kakinya sperti menggenggam sesuatu. Aku yakin benda itu adalah seekor tikus yang malang. Tikus yang menemui ajalnya dikaki elang.

Aku merasa itu hukuman yang setimpal atasnya. Atas segala keserakahannya selama ini. Atau mungkin sang elang sudah muak melihat tingkahnya. Yang hanya bisa menggerogoti hak milik orang lain tanpa pernah perduli berapa banyak orang yang harus menderita akibat dari ulahnya itu.
Memetingkan dirinya sendiri. Merugikan orang lain demi kesenangannya sediri. Demi kejayaan dan kebahagiaannya bersama kelompoknya.

Tapi itulah tikus yang tak pernah tahu akan arti sebuah kerja. Yang tak punya cukup akal untuk berfikir, sampai kapan dirinya harus merugikan pak tani, yang berjuang , bekerja membanting tulang demi sesuap nasi.

“ Hei, ditanya malah melamun. Apa aku telah mengingatkanmu pada sesuatu. Sesuatu yang kurang menyenangkan ? Kalau begitu maafkan aku. Aku sama sekali tidak bemaksud hendak menyakitimu. Maaf.”

“ Oh, tidak. Tidak Ana. Hmm, kamu tidak bersalah. Aku hanya sedang berfikir, seandainya aku masih kuliah seperti dulu,apakah mungkin kita akan pernah bertemu seperti sekarang “. Jawabku mencoba mengalihkan perhatiannya yang terlihat khawatir.

“ Tapia apa hubungannya ?” ia bertanya sesaat kemudian. “ Apa hubungannya dengan yang kita bicarakan tadi ?” ia kembali pada sifat aslinya. Banyak tanya.

“ Yah seperti yang tadi kamu katakana. “ Kataku mengulang kalimat yang sempat terputus.

“ Mengatakan yang mana,?” ia kelihatan bingung. “ Ah kamu telah membuatku jadi seorang pelupa.”

“ Seperti yang kamu katakan. Aku akan jadi mahasiswa yang diperhitungkan andai saja kuliah pada sebuah perguruan tinggi.” Kataku mengeja kalimat yang baru saja ia ucapkan.

“ Lalu dimana letak benarnya ?” kembali ia bertanya. Aku diam sesaat.

“ Aku dulu pernah kuliah dan teman-temanku cukup memperhitungkan kehadiranku diantara mereka, seperti yang kamu katakana. Mungkin Karena sifatku yang tidak mau diam pada setiap persoalan.

“ Lalu bagaimana sikap mereka ?”

“ Yah, beberapa kali aku mereka calonkan jadi ketua. Tapi aku tolak tawaran itu.” Kataku mulai mengurai pengalaman jadi seorang mahasiswa. Mahasiswa yang identik dengan perjuangan. Perjuangan untuk masa depan sendiri serta masa depan bangsa dan negara agar tetap berada dalam jalur kebenaran, keadilan dan kesejahteraan, meski kadang harus jadi korban.

“ Aku menolak tawaran mereka, karena mengingat diriku yang hanya bisa bicara, namun kenyataannya keterbatasan juga yang ada. Aku tak dapat berbuat banyak selain bicara.”

“ Tapi bukankah dengan kemampuan yang kamu miliki, keterbatasan dan persoalan yang ada dapat kamu atasi ?”

“ Tidak setiap persoalan dapat selesai hanya dengan bicara, fikiran dan ide-ide. Ada kalanya sebuah persolan harus dihadapi dengan tindakan nyata. Dan itu aku tak puya. Aku dilahirkan sebagai oarang yang melarat. Smentara untuk jadi seorang pemimpin, haruslah lebih maju beberapa langkah dari sebuah sumber masalah untuk bisa mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan.”

Aku diam. Iapun tak lagi banyak bersuara.

“ Aku tak mungkin mengecewakan dengan menyia-nyiakan kepercayaan yang mereka berikan hanya karena diriku yang serba kekurangan. Tapi, bukan berarti perjuangan harus berhenti hanya karena alasan keterbatasan. Aku percaya Tuhan selalu punya banyak cara memberi jalan untuk para pejuang. Tapi aku sadar bukan disitu jalan perjuanganku. Oleh sebab itu kuserahkan kepada mereka. Aku yakin diantara mereka banyak yang sanggup dan punya potensi untuk jadi pemimpin-pemimpin yang memenuhi tuntutan dan kepercayaan yang dibrikan kepadnya.”

“ Lalu bagaimana ceritanya sampai kamu berhenti,” Tanya Ana penuh harap sekan tak pernah bosan dengan semua cerita-cerita yang pernah didengarnya dariku.

“ Tepatnya ketika aksi-aksi tuntutan reformasi tengah begolak. Saat itulah persimpangan jalan hidup menuntunku kearah kehidupanku yang sekarang.” Jawabku sambil mencoba mengingat dan mengurai babakan dari episode kehidupan masa lalu yang skenarionya kadang membawa pada sebuah akhir cerita yang sulit ditebak.

Masa lalu yang penuh semangat perjuangan hendak menegakkan kebenaran di persada bumi Indonesia tercinta. Negara yang lama berada dalam genggaman para penguasa yang tak menghendaki suara-suara sumbang. Lalu dianggap tidak sejalan dengan tujuan pemeritah, hingga harus disingkirkan dengan segala cara. Dan salah satu cara itu telah membawaku pada suatu kejadian yang menjadi awal perjalanan hidup yang tengah aku jalani sekarang.

***
Saat itu hujan baru saja redah. Aku setelah mampir sebentar ke kampus, bermaksud bergegas pulang ke pondokan tempatku tinggal selama ini. Hari itu sudah hampir gelap. Suasana dalam kampus sudah mulai sepi. Kebanyakan teman-teman mahsiswa setelah seharian melakukan aksi dijalan, pulang kerumah dengan menumpang angkutan umum. Untunglah ruang yang biasa kami tempati bekumpul sore itu belum terkunci. Tas dan kelengkapan kuliah yang hari itu tidak sengaja tertinggal, masih pada tempatnya. Setelah membereskan segala sesuatunya, aku melangkah meninggalkan gerbang kampus dengan bergegas.

“ Diam ditempat !” sebuah suara dari arah belakang diikuti derap langkah sepatu laras.

“ Polisi, ada apa sore-sore begini berkeliaran. Dan ada apa pula mereka menghentikan langkahku.” Pikirku dalam hati.

Aku tidak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi. Aku hanya bisa tepaku ditempat. Sebelum sempat berpikir lebih lama mereka telah mengobrak-abrik isi tas yang semula berada diatas kepala sebagai pelindung dari gerimis yang tersisa.

Waktu begitu cepat berlalu. Dengan barang bukti berupa bungkusan plastik berisi serbuk putih yang tak tahu dari mana, aku dinyatakan sebagai pemakai obat-oabat terlarang dan harus menjalani penahanan untuk memudahkan pemeriksaan lebih lanjut.

Sesungguhnya banyak yang tidak yakin dengan kasus hukum yang dituduhkan kepadaku. Mereka terutama teman-teman yang selama ini mengenal kehidupanku. Namun setelah menginap selama dua hari dalam sel tahanan, keesokan harinya aku mendengar kepastian dari pihak penyidik bahwa sampel urin yang diperiksa dilaboratorium, dinyatakan positif. Tidak ada yang dapat menyangkal.

Usai menjalani masa tahanan di lembaga pemasyarakatan aku bermaksud kembali kekampus dan semua teman-temanku mengharapkan itu. Namun apa yang kemudian tejadi diluar harapan. Pihak universitas mensyaratkan aku menjalani rehabilitasi. Dikhawatikan kehadiranku akan membawa pengaruh dalam lingkungan mahasiswa. Sebuah keputusan yang sulit aku terima, karena aku merasa tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Maka dengan kesadran penuh dan dari hasil pertimbangan yang matang aku memutuskan tidak melanjutkan studi yang selama ini kutekuni.

“ Kau menyesal dengan keadaanmu ?” ia bertanya dengan suara lirih seolah turut meraskan kepedihan yang pernah aku alami.

“ Aku berusaha untuk tidak pernah menyesali segala musibah yang menimpa. Toh menyesalpun keadaan tidak akan lebih baik. Aku yakin inilah jalan hidup yang harus aku lalui. Mungkin Tuhan hendak menunjukkan sesuatu yang lebih baik. Dengan begini aku lebih banyak belajar untuk memahami makna hidup. Tidakkah engkau lihat, begitu banyak generasi muda yang hidup bergelimang harta, karena oarang tua kaya raya, jadi pejabat Negara. Segala keinginan mereka akan pasilitas terpenuhi. Namun, mereka akhirnya salah jalan. Jatuh dalam jurang kenistaan. Teperangkap dalam dunia khayalan. Menjadi generasi muda yang kehilangan masa depan.” Suasana hening. Aku diam sesaat. Begitu juga dirinya. Ia sepertinya meresapi apa yang aku katakan.

“ Mungkin dibalik segala kekurangan yang aku alami ada hikma yang jauh lebih berharga dari segala sesuatu yang belum tentu aku peroleh. Bukankah dari hidup yang penuh penderitaan telah banyak melahirkan manusia-manusia yang berjasa disegala medan kehidupan ?

Dan yang terpenting dan paling berharga adalah kutemukannya seorang sahabat yang sanggup memahami diriku dan mau mendengar segala keluhanku. Dengannya aku merasa telah memiliki segalanya. Dan aku yakin inilah anugerah yang terindah untuk orang yang malang seperti diriku. Dan anugerah itu telah hadir dan duduk disampingku. Semoga untuk selamanya.”

Dia menepuk bahuku sambil berdiri dan mengajakku melangkah pergi. Pergi meninggalkan masa silam. Masa lalu yang hadir tidak untuk disesali. Tapi dijadikan pelajaran dalam menyongsong masa depan. Masa yang penuh harapan.

“ Engkau seperti tidak pernah serius dalam berbicara, tapi isinya sarat akan makna.” Katanya seraya melangkah seiring matahari senja yang kian condong kearah puncak perbukitan lalu hilang meninggalkan sembuarat merah yang menambah indahnya alam desa.

Sekelompok burung pipit terbang melesat memptong jalan sempit diantara semak belukar yang kami lalui. Pulang kesarang setelah seharian membuat lelah Pak Tani yang setia menunggui padinya yang tersisa.

“ Kadang sesuatu yang berharga enggan orang untuk menerima karena dikemas dalam wadah yang tidak mengundang selaera. Demikian pula hanya akan petuah. Meninggalkan kesan bagi oarang yang mendengar bila cermat menggunakan bahasa.” Kataku setelah kami berada diatas sepeda motor. Melaju melewati jalan beraspal di kaki gunung yang sepi, memasuki kawasan perkampungan yang damai.
Sayup-sayup dari kejauhan tedengar suara azan berkumandang menggemah diantara bukit dan lembah, pertanda hari akan berganti dan malam akan segera tiba. Hari yang akan terus berganti sepanjang masa, tanpa tahu waktu yang terlewati, yang tak akan mungkin pernah kembali, dan tak akan pernah sanggup untuk diajak kembali meski dengan alat yang lebih cepat dari yang pernah diketahui.

Kami singgah sebentar untuk menunaikan ibadah sholat magrib. Dalam hati aku mengucap syukur karena masih diberi waktu untuk berbakti meski hanya lewat tulisan. Tapi aku yakin Tuhan tentu punya maksud memberi perintah pertama kali kepada Nabinya dan tentu juga kepada ummatnya. Dengan perintah baca Tuhan telah memberi isyarat bahwa segala yang ada ini tak tak cukup hanya untuk dilihat, tapi diamati dan diresapi kemudian direnungkan apa arti dibalik penciptaan ini, lalu memantapkan dalam hati bahwa semua yang ada tak mungkin sia-sia.

Aku berharap lewat tulisan keterbatasan yang aku miliki tak akan jadi penghalang untuk meberikan sumbangan pemikiran dan ide-ide, meskipun aku sendiri belum tentu dapat menjalani. Namun tidak menutup kemungkinan ada orang yang dapat memetik hikmah dibaliknya.
Kini malam telah menutup siang. Dan terang telah berganti gelap, mengantarkan setiap insan menuju alam mimpi. Meninggalkan kepenatan dalam sehari menyongsong hari esok penuh harapan.

***
“ Dari Bang Ari aku dengar engkau punya gelar sarjana tapi tidak pernah memakainya, itu benar ? “ Tanya sahabatku Ana panggilan akrabnya setelah kami berada dirumahnya. Rumah sederhana tempat Sofiana, nama lengkapnya, selama ini menekuni profesinya sebagai mahasiswa sekaligus sebagai penulis muda berbakat.

“ Ha…Ha… ini yang belum aku aku ceritakan kepadamu,” jawabku sambil menarik sebuah majalah dari atas meja lalu menghempaskan diri kekursi.

“ Setelah berhenti menjadi seorang mahasiswa, aku berharap untuk segera dapat bekerja dan memperoleh penghasilan. Tapi jaman sekarang memiliki ijazah SMA tanpa memiliki keterampilan perusahaan mana yang mau menerima. Apalagi berharap jadi pegawai pemerintah. Tanpa ada jaringan didalam, susah untuk masuk. Banyak saingan.” Aku membolak-balik halaman majalah. Tak ada yang menarik. Semua melulu tentang wanita dan kosmetik. Sofiana diam saja. Ia seperti memberiku kesempatan untuk terus bicara. Ia hanya sesekali mengangguk membenarkan pendapatku.

“ Aku lalu berfikir untuk kembali kuliah. Sekedar untuk memperoleh ijazah dan segerah dapat bekerja. Itu yang aku lakukan walau sebenarnya aku tidak banyak berharap. Namun pekerjaan yang sesuai tak kunjung aku dapatkan. Mungkin tidak cukup ilmunya. Aku sadar akan al itu. Menyerahkan persoalan kepada orang yang bukan ahlinya hanya akan menimbulkan persoalan baru. Ya kan ? aku percaya hal itu. Oleh sebab itu aku tak pernah merasa putus asa. Dan aku percaya pada ketentuan Tuhan. Aku lalu mengerjakan apa saja. Bagiku yang penting halal dan waktu tidak terbuang percuma.”

Lama kami terdiam. Sesekali dari jauh terdengar suara kendaraan melesat memecah kesunyian. Untunglah rumah Sofiana jauh dari jalan raya sehingga suara bising kendaraan tidak terlalu mengganggu.

“ Syukurlah Bang Ari mau menampung tulisan-tulisan yang pernah kubuat. Ia wartawan senior dan penulis yang bijaksana. Katanya, aku berpotensi jadi seorang penulis. Dan kehadiranku disini yang telah mempertemukan kita atas permintaannya juga. Semoga Bang Ari tidak keliru memberiku kepercayaan ini. Katanya ini adalah tantangan pertama yang harus aku lalui, membuat tulisan tentang seorang wanita muda yang kreatif.”

Sofiana terdiam. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Ia seperti menganalisa setiap kata demi kata yang aku ucapkan. Yang mengalir begitu saja seakan tak terbendung. Terus mengalir melukiskan gambaran hati yang telah menemukan tempatnya untuk menumpahkan segala yang lama terpendam. Dan sedikitpun aku tak bermaksud hendak membendungnya. Entah apa sebabnya. Aku hanya merasa inilah saatnya untuk menceritakan segalanya. Dan aku yakin bukan pada orang yang salah. Karena Sofiana sahabatku yang baru itu ternyata adalah pendengar yang setia.

“ Aku berharap persahabatan kita tidak sebatas hubungan kerja” lanjutku kemudian. Sofiana tetap diam. Dibukanya lembaran-lembaran diatas meja tulisnya.

“ Aku yakin Bang Ari tidak keliru mengutusku kemari. Menunjukkan jalan untuk menemukan seorang teman sekaligus seoarang pembimbing yang akan membagi pengalaman dan pengetahuan. Membagi rasa dan cerita untuk menemukan jalan hidup, sekaligus dapat memenuhi kepercayaan yang ia berikan.”

“Kau terlalu berlebihan memuji. Akulah yang seharusnya banyak belajar darimu. Semoga pertemuan dan pershabatan yang tengah kita jalani ini akan membawa makna yang lebih berarti dalam menempuh hari-hari depan. Aku juga berharap begitu. Dan tentunya juga kau. Semoga ini bukan skedar cerita.”

Malam terus merayap dalam gelapnya. Memendamkan segala rahasia kehidupan yang penuh misteri. Tak terasa waktu terus berjalan, dan telah banyak yang telah kami bicarakan. Sesekali pebicaraan diselingi gelak tawa. Ditemani Bu Inah dan secangkir kopi yang dihidangkannya semakin menambah hangatnya suasana.

Bu Inah adalah orang tua yang selama ini merawat dan membesarkan Sofiana sejak dari kecil hingga sekarang. Sejak Pak Barkah, suaminya, ayah Sofiana yang tak sempat dilihatnya kecuali dalam album foto yang tersimpan rapi dan yang dipajang didinding dengan seragam militernya, gugur dalam melaksanakan tugas di Timor timur. Gugur demi menjaga Negara kesatuan Republik Indonesia. Negeri sejuta pahlawan yang akan tumbuh disetiap medan kehidupan. Pahlawan yang selalu dinantikan kehadirannya sejak manusia pertama hingga akhir jaman. Sejak Iblis menyatakan perang kepada Adam sampai datangnya masa perhitungan.

Aralle, 13 Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar