Powered By Blogger

Minggu, 08 Mei 2011

Liputan Investigasi

Bagja Hidayat

Seorang terpelajar harus adil sudah sejak dalam pikiran...
[Pramoedya Anant Toer, Bumi Manusia]

SEBUAH liputan investigasi seringkali dimulai dari pertanyaan
sederhana. Liputan tentang tambang emas di Busang, Kalimantan
Timur, oleh Bondan Winarno pada 1997 dimulai dari pertanyaan:
kenapa mayat Michael de Guzman cepat sekali ditemukan di
kelebatan hutan tropis Kalimantan? Padahal, banyak pesawat jatuh
tak diketemukan bangkainya hingga sekarang.

De Guzman adalah seorang ahli eksplorasi perusahaan
penambangan emas Bre-X asal Filipina. Ia yang menyampaikan
bahwa Busang menyimpan cadangan emas dalam jumlah banyak.
Bre-X kebanjiran duit dari investor yang ingin membeli sahamnya di
bursa saham Toronto, Kanada.

Tiba-tiba ia dikabarkan mati dengan terjun dari helikopter yang
membawanya. Mayatnya ditemukan mengambang di rawa tiga hari
kemudian. Kecurigaan Bondan bekerja: bagaimana bisa benda seberat
80-90 kilogram jatuh dari ketinggian mengambang di hutan rawa?

Liputan Bondan kemudian menemukan bahwa Guzman
memalsukan kematiannya untuk menghindari jerat hukum karena
Busang ternyata hanya pepesan kosong. Wartawan yang kini terkenal
sebagai pembawa acara kuliner di televisi itu berhasil membuktikan
bahwa itu mayat orang lain. Berdasarkan cerita keluarganya, Guzman
memiliki gigi palsu di rahang atas. Sementara menurut dokter
forensik yang ditemuinya, mayat itu tak memiliki gigi palsu satupun.

Hidup Guzman tetap misterius sampai sekarang. Tapi liputan
Bondan menguak kongkalikong antara penguasa Orde Baru dengan
perusahaan eksplorasi emas asal Kanada itu. Tahun lalu ada kabar
pengadilannya di Kanada tetap berjalan dan ditemukan bukti-bukti
baru ihwal kebohongan eksekutif dan para peneliti di Bre-X.

Dalam meliput kasus itu, Bondan telah mempraktekkan naluri
wartawan investigasi yang paling dasar: sikap skeptis. Ia
menyebutnya metode "daya bertanya".

Seorang wartawan investigasi akan terus meragukan temuantemuannya,
mengolah kembali informasi dan cerita yang ia terima,
memverifikasinya, lalu mengonfirmasikannya kepada banyak sumber.

Sikap skeptis sebetulnya tak hanya harus dimiliki wartawan
investigasi. Setiap wartawan harus memiliki sikap ini. Sebab skeptis
akan menyelamatkan wartawan terjerumus ke dalam sikap partisan,
tak seimbang, memihak.

Di Tempo ada tim khusus yang menangani berita-berita investigasi.
Ini desk yang menelisik informasi yang masih sumir tapi menarik
yang waktu penelusurannya tak cukup hanya sepekan—ritme terbit
majalah ini. Waktu yang dibutuhkan tak selalu sama dari setiap cerita.

Ada yang pendek, ada juga yang panjang karena susah konfirmasi dan
verifikasinya. Bertahun-tahun kami mengelola desk ini akhirnya
sampai pada kesimpulan: tak ada yang mudah dalam berita investigasi.
Sebuah cerita awalnya kelihatan gampang ditelusuri dan ditulis,
tapi ternyata membutuhkan waktu lima bulan sampai pada
kesimpulan akhir. Pada akhirnya kami tak pernah menggolongkan
berita gampang atau berita susah. Sebab gampang atau susah
metodenya tetap sama: disiplin verifikasi dan konfirmasi dengan
sikap skeptis secara terus menerus.

Liputan tentang kematian Lambang Babar Purnomo, seorang
arkelog yang sedang menangani pencurian dan pemalsuan arca di
Museum Radyapustaka, Solo, dimulai dari pertanyaan sederhana:
kenapa dia yang segar bugar tiba-tiba mati ketika sedang mengusut
kasus ini?

Penelusuran atas kematiannya—melalui wawancara dengan
puluhan teman, kolega, rival, dan keluarganya, ditambah catatan hasil
otopsi—membuhulkan kesimpulan ia dibunuh. Penyidikan
kematiannya juga menguak persekongkolan Keraton Solo, pengusaha
terkenal, kolektor, calo, pedagang barang antik, hingga makelar benda
seni dari balai lelang terkenal di luar negeri.

Lambang hanya pelanduk yang terjepit di antara permainan para
gajah itu. Dua pekan lalu Aliansi Jurnalis Independen memilih liputan
tentang mafia purbakala yang terbit akhir September tahun lalu
sebagai liputan terbaik.

Cerita soal akal-akalan biaya admin listrik juga tak dimulai
dengan setumpuk dokumen atau bahan cerita bombastis. Mula-mula
cerita seorang anggota tim yang baru saja membaca sebuah surat
pembaca di koran. Ia merasa heran karena surat keluhan soal biaya
administrasi dalam pembayaran setrum secara online tak sekali-dua
muncul. Tak hanya di koran, keberatan pengenaan pungutan itu juga
muncul di pojok diskusi maya, blog, situs jejaring sosial. Berhari-hari
dengan keluhan yang sama.

Tim ini juga baru sadar ada komponen biaya itu di tagihan listrik
rumah mereka. Lalu mereka memutuskan memverifikasi secara serius
soal itu di tengah liputan lain yang sudah ditentukan waktu terbitnya.
Verifikasi kepada orang bank dan orang dalam di PLN menghasilkan
kecurigaan ada sesuatu yang salah dalam penerapan biaya admin
listrik. Kita tak pernah tahu biaya ini karena tak dibahas bersama
komponen tarif di DPR. Ujug-ujug ada dengan besaran yang sudah
ditentukan.

Kecil, memang. Hanya Rp 1.500-Rp 8.000 per tagihan. Tapi
kalikan jumlah itu dengan 40 juta pelanggan. Kemana uang publik itu
mengalir? Siapa yang menikmatinya? Bagaimana pungutan itu bisa
muncul? Kenapa pembayaran telepon yang juga melalui online tak
dikenakan biaya administrasi?

Sederet pertanyaan itu menuntun pada beberapa orang sumber
yang mengetahui riwayat pungutan ini dan menguak praktek kotor
penilapan uang publik secara diam-diam. Kami menyebutnya korupsi
legal, seperti ketika kami menelusuri penjualan mobil mewah melalui
jalur diplomatik setahun sebelumnya.

PLN memberi privilege kepada sebuah perusahaan jasa online
untuk mengelola pungutan ini bersama bank-bank yang ditunjuk.
Perusahaan ini mengelola data pelanggan listrik tak melalui proses
lelang. Pengelola perusahaan ini ternyata para pejabat atau bekas
petinggi perusahaan negara itu. Yayasan PLN juga ternyata punya
saham di perusahaan ini.

Alhasil, ini cerita yang sangat menarik. Apalagi ketika proses
konfirmasi berjalan sumber-sumber di dalam PLN, perusahaan jasa,
dan bank memberi keterangan berbeda-beda. Pemilahan informasi
dari pelbagai sumber menunjukkan mana informasi bohong mana
cerita yang betul-betul terjadi. Sebulan lalu tulisan yang terbit Januari
2009 ini menggondol Mochtar Lubis Award.

Seorang redaktur menyebut proses liputan investigasi seperti
mengupas bawang: selapis-demi-selapis sampai ketemu intinya.
Inilah yang membedakan liputan investigasi dengan liputan jurnalistik
lainnya. Liputan investigasi ditulis secara mendalam, topiknya
seringkali luput dari perhatian banyak orang, menyingkap hal
tersembunyi atau disembunyikan, menghasilkan kesimpulan yang
jelas tentang siapa yang bersalah, dan kebenaran yang disajikan
bukan berdasarkan omongan orang tapi karena temuan fakta di
lapangan.

Liputan investigasi berbeda dengan liputan tentang investigasi.
Yang kedua, sumber ceritanya para penyidik yang memberi informasi
tentang sebuah kasus yang sedang mereka tangani. Wartawan
menceritakan bagaimana aparat hukum memproses sebuah kasus
hingga ketemu terdakwanya dan bagaimana kasus itu terjadi. Ia tak
menggali sendiri cerita dari sumber-sumber pertama, memilah, dan
menunjuk siapa yang salah.

Liputan tentang skandal Watergate oleh dua wartawan Washington
Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, pada 1972 adalah reportase
investigasi murni pada awalnya, sebelum para penyidik menelusuri
kasus korupsi yang menjungkalkan Richard Nixon dari kursi Presiden
Amerika Serikat. Dimulai dari liputan kasus pencurian dokumen di
kantor Partai Demokrat di Gedung Watergat, penelusuran
“Woodstein” sampai pada aliran dana untuk kampanye Nixon.

Karena sifatnya yang investigatif, liputan jenis ini seringkali
membutuhkan teknik khusus. Misalnya, menyamar. Dalam liputan
aborsi di Jakarta Februari lalu, tim Tempo harus menyamar untuk
membuktikan rumah-rumah bersalin dijadikan tempat praktek aborsi.

Cara ini ditempuh karena mendatangi klinik dengan mengaku
wartawan tak menghasilkan cerita apapun.
Dalam dunia jurnalistik—di Indonesia maupun dunia—menyamar
masih menjadi perdebatan dari sisi etika. Sebab prinsip utama kerja
wartawan adalah akuntabilitas. Ia tak boleh berbohong kepada
narasumbernya. Para wartawan harus menjelaskan posisinya sehingga
orang yang diajak berbicara tahu omongannya akan dikutip dan
muncul di media. Menyamar hanya jalan terakhir yang ditempuh
karena tak ada pilihan lain.

Informasi off the record dan sumber anonim juga harus
diperlakukan secara ketat. Informasi off the record harus dilihat dari
motif orang yang menyampaikannya. Apakah kebenaran materi atau
hanya sekadar fitnah belaka. Sumber anonim punya beberapa syarat:
apakah si sumber orang yang menyaksikan sebuah peristiwa, saksi
kunci, atau terancam keselamatannya jika identitasnya dibuka.

Woodstein mendapat petunjuk penelusaran kasus Watergate dari
seorang yang diberi nama sandi Deep Throat—judul sebuah film semi
porno yang sedang populer saat itu. Identitasnya baru terkuak pada
2005 ketika ia muncul di depan publik dan dikenalkan sebagai Mark
Felt, Direktur FBI zaman Nixon. Petunjuknya yang sangat terkenal
kepada Bernstein adalah: follow the money... Felt meninggal pada
2007.

Kemunculan Felt atas inisiatifnya sendiri menjawab kepenasaran
publik. Tapi wartawan harus membuka identitas sumber anonimnya
jika kelak terbukti si sumber menyampaikan sebuah cerita bohong
dengan tujuan memfitnah. Karena itu sebelum wartawan setuju
memuat ceritanya, ia harus memverifikasi cerita itu ke sumber lain
dan mengonfirmasikan posisinya dalam kasus yang sedang ditulis.
Sebab tanggung jawab wartawan kepada publik karena ia menulis
hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak. Publik berhak
dan harus tahu bagaimana metode kerja wartawan sampai
menghasilkan informasi yang mereka tulis. Dalam dunia demokratis,
liputan jurnalistik bisa menjadi referensi bagi orang banyak untuk
menentukan tindakannya.

Pada liputan aborsi kami menyiasatinya dengan jalan konfirmasi.
Kami mengirim orang yang berbeda setelah wartawan yang
menyamar menjadi pasien mendapat bukti beberapa rumah bersalin
tempat praktek dokter terhormat dan terkenal di Jakarta melakukan
aborsi. Kami beritahu bahwa orang yang datang itu wartawan. Kami
memberi ruang para dokter dan bidan itu menyanggah cerita yang
diperolehnya. Sebulan setelah liputan itu terbit, polisi menggerebek
klinik aborsi yang kami tulis.

Meski dituntut bersikap skeptis, wartawan harus tetap
mengedepankan sikap adil. Wartawan tak dibenarkan memvonis sikap
narasumber sampai benar-benar ketemu fakta yang dapat ia
pertahankan. Wartawan senior Goenawan Mohamad kerap
mengingatkan bahwa “kebenaran ada di mana-mana, termasuk di
tempat-tempat yang tidak kita suka.”

Pada akhirnya, wartawan mesti mengingat aforisme Minke,
seorang wartawan Medan Prijaji, dalam novel Bumi Manusia yang
ditulis Pramoedya Anantar Toer seperti dikutip pada awal tulisan ini.

Bahan bacaan:
1. Winarno, Bondan. 1997. Bre-X : Sebungkah Emas di Kaki
Pelangi. Penerbit Inspirasi Indonesia, Jakarta
2. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel, 2004. Elemen-elemen
Jurnalisme. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta
3. Gaines, William C., 2007. Liputan Investigasi untuk Media
Cetak dan Siaran. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta
4. Mohamad, Goenawan. 1997. Seandainya Saya Wartawan
Tempo. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni
Tempo, Jakarta
5. Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Hasta
Mitra
6. Kurnia, Septiawan Santana. 2003. Jurnalisme Investigasi.
Yayasan Obor Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar